Bagian V

MEMIKIRKAN DIRI SENDIRI - MENCARI KEDUDUKAN - KETAKUTAN-KETAKUTAN DAN KETAKUTAN TOTAL - FRAGMENTASI PIKIRAN - BERAKHIRNYA KETAKUTAN


Sebelum kita melanjutkan pembicaraan kita aku ingin bertanya kepada Anda, apakah hal yang paling hakiki dan selalu menarik hati di dalam hidup Anda? Dengan menyisihkan semua jawaban yang tidak langsung dan menghadapi pertanyaan itu secara langsung dan jujur, apakah yang akan menjadi jawaban Anda? Tahukah Anda?

Bukankah jawabannya ialah diri Anda sendiri? Bagaimanapun juga, itulah yang akan merupakan jawaban sebagian terbesar diantara kita, bila kita jujur. Minat utamaku ialah pada kemajuanku, jabatanku, keluargaku, sudut kecil tempat hidupku, mendapatkan kedudukan yang lebih baik bagiku, prestise lebih besar, kekuasaan lebih besar, pengaruh lebih besaar atas orang-orang lain dan sebagainya. Menurut pendapatku suatu hal yang logis ialah mengaku pada diri kita sendiri bahwa itulah yang merupakan pusat perhatian kita yang terutama ---"aku" dulu. Bukankah begitu?

Mungkin beberapa diantara kita akan berkata bahwa menaruh minat utama pada diri kita sendiri adalah sesuatu yang salah. Tetapi apa salahnya berbuat itu kecuali bahwa kita jarang mengakui hal itu dengan selayaknya secara jujur? Bila kita melakukan hal itu, maka kita merasa malu. Itulah soalnya - pada dasarnya minat utama orang ialah pada dirinya sendiri, dan karena pelbagai alasan ideologis atau kebiasaan berpikir, orang berpendapat bahwa itu salah. Tetapi apa yang kita pikirkan tidaklah relevan. Mengapa kita memasukkan faktor salah ke dalam masalah ini? Faktor itu adalah sebuah ide, sebuah konsep. Faktanya ialah bahwa orang itu pada dasarnya dan dengan tak henti-hentinya memikirkan dirinya sendiri.

Anda bisa berkata bahwa menolong orang lain sesuatu yang lebih memuaskan daripada memikirkan diri Anda sendiri. Apa bedanya? Hal itu tetap perbuatan mementingkan diri sendiri. Bila menolong orang lain itu memberi Anda kepuasan yang lebih besar, maka itu berarti bahwa yang Anda pentingkan ialah sesuatu yang akan memberi Anda kepuasan yang lebih besar. Mengapa kita harus memasukkan konsep ideologis kedalamnya? Buat apa berpikir ganda begitu? Mengapa tidak berkata: "Yang kuinginkan sebenarnya ialah kepuasan, apakah itu dalam urusan seksual, atau memberikan pertolongan kepada orang lain, ataupun dalam upaya menjadi seorang suci yang terkenal, seorang cendekiawan atau seorang politikus? Semua itu proses yang serupa, bukan? Mendapatkan kepuasan dengan pelbagai cara yang tersamar dan yang terang-terangan - itulah yang kita inginkan. Bila kita berkata kita menginginkan kebebasan, kita menginginkannya karena kita mengira bahwa itu mungkin membawa kepuasan yang luar biasa; dan kepuasan terakhir tentu saja ide aneh yang kita sebut realisasi diri itu. Yang sesungguhnya kita cari ialah satu kepuasan yang didalamnya tak ada ketidak-puasan sedikitpun.

Kebanyakan diantara kita mendambakan rasa puasnya mempunyai kedudukan dalam masyarakat, karena kita takut menjadi orang yang tidak dikenal siapa-siapa? Masyarakat tersusun sedemikian rupa hingga warganya yang mempunyai kedudukan tinggi dihormati sekali, sedangkan orang yang tidak mempunyai posisi tinggi jadi bulan-bulanan saja. Setiap orang di dunia menginginkan kedudukan, apakah kedudukan itu di dalam masyarakat, di dalam keluarga atau di sisi kanan Tuhan; dan kedudukan ini harus diakui orang lain, jika tidak maka bukanlah itu sebuah kedudukan. Kita harus selalu duduk di atas pentas. Karena batin kita penuh kesengsaraan dan muslihat, maka anggapan orang lain tentang diri kita sebagai seorang tokoh terkemuka sangatlah membesarkan hati. Dambaan akan kedudukan, prestise, kekuasaan, terkenalnya kita di dalam masyarakat sebagai orang terkemuka di salah satu bidang, ialah keinginan kita untuk bisa menguasai orang-orang lain, dan keinginan untuk berkuasa adalah salah satu bentuk agresi. Orang suci yang mencari kedudukan dalam kesuciannya adalah seseorang yang sama agresifnya dengan seekor anak ayam yang sedang mencotok cacing di halaman rumah. Dan apakah yang menimbulkan perbuatan agresif ini? Rasa takut, bukan?

Ketakutan merupakan salah satu masalah terbesar dalam hidup. Batin yang tertangkap dalam ketakutan, hidup dalam kebingungan, dalam konflik, dan karena itu tak bisa tidak penuh kekerasan, ialah batin yang cacat dan agresif. Ia tak berani meninggalkan pola-pola berpikirnya sendiri, dan ini menimbulkan kemunafikan. Terkecuali bila kita bebas dari rasa takut, maka apapun yang kita kerjakan ---mendaki gunung yang tertinggi di dunia, menciptakan bentuk Tuhan macam apapun ---kita akan tetap berada dalam kegelapan.

Sementara hidup di dalam masyarakat yang begitu rusak dan tolol, yang memberikan kita pendidikan kompetitif yang menimbulkan ketakutan, kita semua telah dibebani beberapa jenis rasa takut tertentu, dan rasa takut itu sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang memperdaya, memutarbalik dan menggelapkan hidup kita.

Pada kita terdapat satu ketakutan fisik, tapi itu adalah respons yang kita warisi dari binatang. Yang kita persoalkan di sini ialah ketakutan psikologis, karena bila kita mengerti ketakutan psikologis yang lebih berurat-berakar di dalam batin kita itu, maka kita akan mampu menghadapi ketakutan hewani ini, sedangkan bila kita mulai dengan mempersoalkan ketakutan hewani maka hal itu tak akan bisa membantu kita untuk mengerti ketakutan psikologis kita.

Kita semua takut tentang atau terhadap sesuatu. Tak ada rasa takut yang bersifat abstrak, Ketakutan selalu berhubungan dengan sesuatu. Tahukah Anda mengenai ketakutan-ketakutan Anda sendiri – ketakutan akan kehilangan jabatan Anda, atau tentang kemungkinan kekurangan pangan atau uang, atau tentang apa yang dipikirkan tetangga Anda atau orang lain tentang diri Anda, atau rasa takut gagal mencapai sukses, atau kehilangan kedudukan Anda di masyarakat, takut dihina atau ditertawakan orang - takut akan kesusahan dan penyakit, akan penjajahan, akan kemungkinan tak tahu apa cinta itu, atau akan kemungkinan tak dicintai orang; takut akan kehilangan isteri atau anak, takut akan kematian, akan hidup di sebuah dunia yang samasekali tanpa makna, akan kejenuhan total, takut kurang mampu untuk hidup sesuai dengan citra yang dibentuk orang tentang diri Anda, takut kehilangan keyakinan Anda - semuanya ini dan ketakutan-ketakutan lain yang tak terhitung macam ragamnya – tahukah Anda ketakutan khusus apa saja yang ada pada Anda? Dan apakah biasanya yang Anda perbuat dengan ketakutan-ketakutan itu? Anda lari darinya, bukan, atau mengarang bermacam-macam ide dan citra untuk menutupinya? Tetapi lari dari rasa takut berarti memperkuat rasa takut itu.

Salah satu penyebab utama rasa takut ialah bahwa kita tak mau menghadapi diri kita sendiri dalam keadaan sebenarnya. Maka di samping menyelidiki ketakutan-ketakutan itu sendiri, kita harus pula menyelidiki jaringan pelarian yang telah kita kembangkan untuk melenyapkan ketakutan dari diri kita. Bila batin, termasuk di dalamnya otak kita, berusaha mengatasi ketakutan, menekannya, mendisiplinnya, mengontrolnya, mengubahnya menjadi sesuatu yang lain, maka timbullah perselisihan, timbullah konflik, dan konflik itu adalah pemborosan energi.

Jadi yang pertama-tama harus kita pertanyakan pada diri kita sendiri ialah apakah rasa takut itu dan bagaimana timbulnya? Apakah yang kita maksudkan dengan kata takut itu sendiri? Yang kutanyakan kepada diriku sendiri itu ialah apa sebenarnya takut itu, dan bukan apa yang kutakuti.

Aku hidup dengan satu cara tertentu; aku berpikir dalam satu pola tertentu; aku punya beberapa kepercayaan dan dogma tertentu dan aku tak mau bila pola-pola hidup ini terganggu, karena aku telah berurat-berakar di dalamnya. Aku tak mau semua itu terganggu, karena gangguan itu menghasilkan satu keadaan yang asing bagiku, dan aku tak menyukai hal itu. Bila aku direnggut dari segala sesuatu yang kuketahui dan yang kupercayai, aku menginginkan satu kepastian secukupnya tentang keadaan baru yang akan kutuju. Demikianlah sel-sel otak telah menciptakan pola lain sel-sel otak itu menolak untuk menciptakan pola lain yang kepastiannya belum terjamin. Gerak dari kepastian menuju ketidakpastian itulah yang kusebut ketakutan.

Pada saat ini, pada waktu aku duduk di sini, aku tidak takut: aku tidak takut di saat ini, tak ada sesuatu yang terjadi padaku, tak ada orang yang mengancamku atau merampas sesuatu dariku. Tetapi di luar saat aktual ini ada satu lapisan yang lebih dalam di dalam batin, yang secara sadar atau tidak berpikir tentang apa yang mungkin terjadi di hari kemudian atau yang kuatir sesuatu dari yang silam akan menimpa diriku. Maka aku takut akan masa lampau dan masa depan. Aku telah membagi-bagi waktu menjadi masa lampau dan masa depan. Lalu masuklah pikiran yang berkata" "Hati-hati, jangan sampai hal itu terjadi lagi", atau: "Bersiapsiaplah untuk masa depan. Hari depan mungkin berbahaya untukmu. Sekarang engkau memiliki sesuatu ini tetapi engkau mungkin kehilangan itu. Engkau mungkin meninggal besok, isterimu mungkin lari, engkau mungkin kehilangan jabatanmu. Engkau mungkin tak pernah menjadi terkenal. Engkau mungkin akan kesepian. Engkau menghendaki supaya ada kepastian tentang hari esok".

Sekarang ambillah rasa takut tertentu yang ada pada Anda. Padanglah dia. Amatilah reaksi-reaksi Anda terhadapnya. Dapatkah Anda memandang rasa takut Anda itu tanpa gerakan sedikit pun untuk melarikan diri, tanpa membenarkan, menyalahkan atau menekannya? Dapatkah Anda memandang rasa takut itu tanpa perkataan yang menimbulkan rasa takut? Dapatkah Anda memandang kematian, misalkan, tanpa perkataan yang menimbulkan rasa takut akan kematian? Perkataan itu sendiri menimbulkan satu getaran bukan, sebagai halnya kata cinta membawa getarannya, membawa citranya sendiri? Kini, apakah citra yang timbul dalam batin Anda tentang kematian, kenangan tentang sejumlah besar kematian yang telah Anda lihat dan asosiasi-asosiasi diri Anda dengan peristiwa-peristiwa itu ---apa citra itukah yang menimbulkan rasa takut? Ataukah Anda benar-benar takut akan berakhirnya Anda, dan bukan akan citra yang menciptakan keadaan akhir itu? Apa kata kematian itukah yang menyebabkan Anda takut, ataukah keadaan akhir yang sesungguhnya? Bila yang menyebabkan rasa takut itu perkataan atau kenangan, maka itu sekali-kali bukanlah rasa takut.

Anda jatuh sakit dua tahun yang lalu, katakanlah, dan memori tentang rasa sakit, penyakit yang diderita itu, membekas di batin Anda, dan memori Anda yang bekerja sekarang berkata: "Hati-hatilah, jangan jatuh sakit lagi". Maka memori dengan asosiasinya menciptakan ketakutan, dan itu sekali-kali bukanlah rasa takut karena pada waktu itu Anda sebenarnya dalam keadaan sehat wal'afiat. Pikiran, yang selalu usang, karena pikiran itu adalah respons memori dan memori itu selalu usang - pikiran, di dalam waktu, menciptakan rasa takut pada Anda, yang sebenarnya bukanlah sebuah fakta. Fakta sesungguhnya ialah bahwa Anda sehat. Tetapi pengalaman yang bermukim di dalam batin Anda sebagai memori, menimbulkan pikiran: "Hati-hatilah, jangan jatuh sakit lagi".

Demikianlah kita melihat bahwa pikiran itu menimbulkan satu jenis ketakutan tertentu. Tetapi selain itu, adakah rasa takut itu? Apakah rasa takut itu selalu hasil pikiran dan, bila demikian halnya, apakah ada bentuk ketakutan lain kecuali itu? Kita takut pada kematian - sesuatu yang akan terjadi besok atau setelah esok hari, di dalam waktu. Di antara keadaan sebenarnya dan sesuatu yang akan terjadi, ada jarak. Pikiran telah mengalami keadaan ini; dalam mengobservasi kematian, ia berkata: "Aku akan mati". Pikiran menciptakan ketakutan tentang kematian, tetapi bila ia tidak berbuat itu, apakah ada yang disebut takut itu?

Apakah takut itu hasil pikiran? Bila demikian halnya, maka karena pikiran itu selalu sesuatu yang usang, maka ketakutanpun sesuatu yang usang. Sebagai yang telah kita katakan, tak ada pikiran yang baru. Bila kita mengenalinya, ia adalah usang. Maka yang kita takuti itu ialah ulangan dari yang usang, yang usang adalah projeksi pikiran tentang sesuatu yang pernah ada ke masa yang akan datang. Karena itu pikiran bertanggung jawab atas ketakutan. Itu memang demikian, Anda dapat melihatnya sendiri. Bila Anda dihadapkan dengan sesuatu secara langsung, maka tak ada ketakutan. Hanya bila pikiran itu ikut-ikut campur, maka timbullah ketakutan.

Jadi pertanyaan kita sekarang ialah, apakah ada satu kemungkinan bagi batin untuk hidup secara lengkap, secara menyeluruh, di saat ini? Hanya batin semacam itulah yang tak kenal takut. Tetapi untuk dapat memahami hal ini, Anda harus memahami struktur pikiran, memori dan waktu. Dan dengan dimengertinya itu bukan secara intelektual, secara verbal, melainkan secara aktual dengan hati Anda, dengan pikiran Anda, dengan segala sesuatu yang ada pada diri Anda - maka Anda akan bebas dari ketakutan; maka batin akan dapat menggunakan pikiran tanpa menimbulkan ketakutan.

Pikiran, sebagai halnya memori, sudah tentu perlu bagi kehidupan sehari-hari. Ia adalah satu-satunya alat yang kita miliki untuk mengadakan komunikasi, untuk mengerjakan tugas-tugas kita dan sebagainya. Pikiran adalah respons terhadap memori - ingatan yang telah terkumpul melalui pengalaman, pengetahuan, tradisi, waktu. Dan dari latar belakang memori ini kita bereaksi, dan reaksi ini adalah berpikir. Jadi pikiran adalah esensiil pada tingkat-tingkat tertentu, tetapi bila pikiran memprojeksikan dirinya secara psikologis sebagai hari depan dan masa silam, dan dengan demikian menciptakan rasa takut maupun rasa senang, maka batin telah dibuat tumpul dan karenanya tak bisa tidak menjadi lumpuh.

Demikianlah maka aku bertanya pada diriku sendiri: "Mengapa, mengapa, mengapa, aku memikirkan hari depan dan masa silam sebagai suka dan duka, padahal aku tahu bahwa pikiran semacam itu menimbulkan rasa takut? Apakah tak mungkin bagi pikiran untuk berhenti secara psikologis, karena bila tidak, ketakutan tak akan berakhir.

Salah satu fungsi pikiran ialah untuk selalu mengisi waktu dengan sesuatu tertentu. Kebanyakan dari kita ingin agar batin kita selalu sibuk, supaya kita dapat terhindar dari melihat diri kita sendiri sebagaimana adanya. Kita takut akan kekosongan. Kita takut melihat ketakutanketakutan kita.

Secara sadar Anda bisa tahu tentang ketakutan-ketakutan Anda, tetapi apakah Anda menyadarinya pula di lapisan-lapisan batin Anda yang lebih dalam? Dan bagaimana cara Anda menemukan ketakutan-ketakutan yang tersembunyi yang bersifat rahasia itu? Apakah ketakutan itu terbagi-bagi dalam yang sadar dan yang bawah sadar? Ini pertanyaan yang sangat penting. Si spesialis, psikolog, analis, telah membagi-bagi ketakutan menjadi lapisan yang dalam dan lapisan yang dangkal, tetapi bila Anda menganut apa yang dikatakan psikolog atau apa yang aku katakan, maka yang akan Anda pahami ialah teori, dogma, pengetahuan kami, Anda tidak memahami diri Anda sendiri. Anda tak mungkin memahami diri Anda menurut kata Freud atau Jung, atau menurut kataku. Teori-teori orang lain samasekali tak penting. Yang Anda perlu pertanyakan ialah, apakah menurut Anda sendiri ketakutan itu terbagi-bagi menjadi yang sadar dan yang bawah sadar. Ataukah yang ada hanyalah ketakutan yang Anda terjemahkan dalam bentuk-bentuk yang berbeda?

Yang ada hanyalah satu keinginan; yang ada hanya keinginan. Anda punya keinginan. Objek pada keinginan dapat berubah, tetapi keinginan selalu yang sama itu juga. Demikian kiranya yang ada itu hanyalah ketakutan. Anda takut akan bermacam-macam hal, tetapi yang ada hanya satu ketakutan saja.

Bila Anda menyadari, bahwa ketakutan tak bisa dibagi-bagi, maka Anda akan melihat bahwa Anda telah melepaskan seluruh persoalan tentang bawah sadar, dan dengan berbuat itu Anda telah menghapus ketergantungan Anda pada para psikolog dan analis. Bila Anda mengerti bahwa ketakutan itu satu gerak tunggal yang mengekspresikan dirinya melalui berbagai macam cara dan bila Anda melihat gerak itu sendiri dan bukan objek yang ditujunya, maka Anda akan berhadapan dengan pertanyaan besar: bagaimana Anda bisa melihat gerak itu tanpa fragmentasi yang telah dikembangkan oleh pikiran?

Yang ada hanyalah ketakutan total, tetapi bagaimana batin yang berpikir fragmentaris itu dapat mengobservasi keseluruhan keadaan itu? Dapatkah ia melakukan itu? Yang kita hayati ialah hidup yang terpecahpercah, dan yang hanya dapat kita lihat ialah ketakutan total melalui proses pikiran yang terpecah-pecah. Seluruh proses mesin berpikir ditujukan untuk memecah apa pun ke dalam fragmen-fragmen: aku cinta padamu dan aku benci padamu; engkau musuhku, engkau sahabatku; sifatsifatku yang aneh dan kecenderungan-kecenderunganku, pekerjaanku, kedudukanku, prestiseku, isteriku, anakku, negaraku dan negaramu, Tuhanku dan Tuhanmu ---semua itu adalah fragmentasi yang dilakukan oleh pikiran. Dan pikiran ini melihat keseluruhan keadaan takut itu, atau berusaha untuk melihatnya, dan meredusirnya menjadi fragmen-fragmen. Maka kita melihat bahwa batin hanya bisa melihat ketakutan total ini, apabila pikiran tidak bergerak.

Dapatkah Anda mengamati rasa takut tanpa kesimpulan apapun, tanpa ikut campurnya pengetahuan yang telah Anda kumpulkan tentang masalah itu? Bila tidak, maka yang Anda amati itu adalah masa lampau, bukan rasa takut; bila Anda dapat, maka itulah untuk pertama kalinya Anda mengamati rasa takut tanpa ikut campurnya masa lampau.

Anda hanya mampu mengamati, apabila batin Anda sangat tenang, seperti halnya Anda hanya mampu mendengarkan perkataan seseorang, bila batin Anda tidak sedang mengoceh sendiri tentang bermacam-macam persoalan dan kekuatirannya sendiri. Dapatkah Anda dengan cara yang sama mengobservasi ketakutan Anda tanpa berusaha memecahkannya, tanpa melawankannnya dengan keberanian ---betul-betul mengamatinya dan tidak lari darinya? Bila Anda berkata: "Aku harus mengontrolnya, aku harus melepaskan diriku darinya, aku harus memahaminya", maka Anda sedang berusaha untuk lari dari ketakutan.

Anda bisa mengamati segumpal awan atau sebuah pohon atau arus sebatang sungai, dengan batin yang cukup tenang karena benda-benda itu tidak seberapa pentingnya bagi anda, tetapi mengamati diri Anda sendiri sesuatu yang jauh lebih sukar, karena di sini persyaratan yang dituntut begitu praktis, reaksi-reaksinya begitu cepat. Jadi bila Anda berhubungan langsung dengan rasa takut atau putus asa, kesepian atau rasa cemburu, atau suasana batin lainnya yang tak menyenangkan, dapatkah Anda mengamatinya betul-betul secara menyeluruh, hingga batin Anda cukup tenang untuk melihatnya?

Dapatkah batin melihat rasa takut itu sendiri dan bukan bentuk-bentuk yang bermacam-macam dari rasa takut itu ---melihat ketakutan total dan bukan sesuatu yang sedang Anda takuti? Bila yang Anda lihat itu hanya detil-detilnya saja atau Anda berusaha menggarap ketakutan-ketakutan Anda satu demi satu maka Anda tak akan pernah sampai kepada masalah pusat, yaitu belajar hidup dengan ketakutan.

Untuk dapat hidup dengan benda hidup seperti rasa takut itu, perlu ada pikiran dan perasaan yang luar biasa halusnya, yang tidak membuat kesimpulan apapun dan karena itu dapat mengikuti setiap gerak rasa takut itu. Maka bila Anda mengamati dan hidup dengan rasa takut itu ---yang tidak memerlukan waktu satu hari penuh karena mengerti keseluruhan sifat rasa takut itu dapat terjadi dalam waktu satu menit atau satu detik ---bila Anda hidup dengan rasa takut itu sepenuhnya, Anda pasti bertanya: "Siapakah dia yang hidup dengan ketakutan itu? Siapakah dia yang mengobservasi ketakutan dan yang mengikuti semua gerak dari berbagai bentuk ketakutan serta menyadari fakta sentral ketakutan itu? Apakah yang mengamati itu sesuatu yang mati, sebuah makhluk yang statis, yang telah mengumpulkan sejumlah banyak pengetahuan dan keterangan tentang dirinya sendiri, dan benda mati itukah yang mengobservasi dan hidup dengan gerak rasa takut? Apakah yang mengamati itu sesuatu dari masa lampau atau suatu benda yang hidup? Apakah jawab Anda? Jangan menjawab saya, jawablah diri Anda sendiri. Apakah Anda, yang mengamati, sesuatu yang mati yang sedang mengamati sesuatu yang hidup, ataukah Anda sesuatu yang hidup yang sedang mengamati sesuatu yang hidup pula? Sebab kedua keadaan itu terdapat di dalam yang mengamati.

Yang mengamati adalah sensor yang tidak menginginkan ketakutan; yang mengamati adalah keseluruhan pengalaman tentang rasa takut. Maka yang mengamati itu terpisah dari benda yang disebutnya takut; antara mereka ada jarak; yang mengamati selalu berusaha mengatasi dan melepaskan diri dari ketakutan itu dan itulah sebab timbulnya pergulatan yang tak kunjung padam antara yang mengamati dan rasa takut--- pergulatan yang merupakan pemborosan energi yang besar sekali.

Pada waktu Anda mengamati, Anda belajar bahwa yang mengamati hanyalah seberkas ide dan memori tanpa unsur kebenaran atau substansi, tetapi bahwa rasa takut merupakan sebuah aktualitas dan bahwa Anda sedang berusaha memahami sebuah fakta dengan sebuah abstraksi yang sudah barang tentu sesuatu yang mustahil Anda lakukan. Tetapi, apakah sesungguhnya ada perbedaan antara yang mengamati, yang berkata: "Aku takut" itu dan benda yang diamati, yaitu rasa takut? Yang mengamati adalah rasa takut dan bila hal itu disadari, maka tidak akan lagi terjadi pemborosan energi yang ditimbulkan usaha untuk menghilangkan rasa takut, dan lenyaplah jarak waktu-ruang di antara yang mengamati dan yang diamati. Pada waktu Anda melihat bahwa Anda adalah bagian dari rasa takut, bukan sesuatu yang terpisah darinya - bahwa Anda adalah rasa takut itu sendiri - maka Anda tak dapat berbuat apa-apa terhadapnya; maka seluruh ketakutan akan berakhir.